Rabu, 17 Desember 2014

Jurnal Fraud

Pendeteksian Kecurangan (Fraud) Laporan Keuangan oleh
Auditor Eksternal

Tri Ramaraya Koroy
STIE Nasional Banjarmasin, Indonesia
Email: trkoroy@yahoo.com

ABSTRAK

Tujuan makalah ini adalah mengidentifikasi dan menguraikan permasalahan dalam pendeteksian kecurangan dalam audit atas laporan keuangan oleh auditor eksternal. Meskipun pendeteksian kecurangan penting untuk meningkatkan nilai pengauditan, namun terdapat banyak masalah yang dapat menghalangi implementasi dari pendeteksian yang tepat. Berdasarkan telaah atas berbagai penelitian yang telah dilakukan, ada terdapat empat faktor penyebab besar yang diidentifikasikan melalui makalah ini. Pertama, karakteristik terjadinya kecurangan sehingga menyulitkan proses pendeteksian. Kedua, standar pengauditan belum cukup memadai untuk menunjang pendeteksian yang sepantasnya. Ketiga, lingkungan kerja audit dapat mengurangi kualitas audit dan keempat metode dan prosedur audit yang ada tidak cukup efektif untuk melakukan pendeteksian kecurangan. Berdasarkan permasalahan ini, perbaikan yang perlu disarankan untuk diterapkan.

Kata kunci: auditing, fraud, financial statement fraud

ABSTRACT

Objectives of this paper are to identify and describe the problems in detecting the financial statement fraud in auditing financial statements by external auditors. Although detection of fraud is important to enhance the value of auditing, there are many problems that impede the appropriate implementation of detection. Based on review of related research that have bee done, there are four factors that identified in this paper. First, the characteristic of fraud occurence made it difficult for detection process. Second, auditing standards is not sufficiently supporst the proper detection. Third, work environment of audit may reduce the quality and the last, audit methods and procedures are not enough for efective detection. Based on this identified problems, the improvement of implementation was suggested.
Keywords : auditing, fraud, financial statement fraud.

PENDAHULUAN
Dalam mekanisme pelaporan keuangan, suatu audit dirancang untuk memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan tidak dipengaruhi oleh salah saji (mistatement) yang material dan juga memberikan keyakinan yang memadai atas
akuntabilitas manajemen atas aktiva perusahaan. Salah saji itu terdiri dari dua macam yaitu kekeliruan (error) dan kecurangan (fraud). Fraud diterjemahkan dengan kecurangan sesuai Pernyataan Standar Auditing (PSA) No. 70, demikian
pula error dan irregularities masing-masing diterjemahkan sebagai kekeliruan dan ketidakberesan sesuai PSA sebelumnya yaitu PSA No. 32.
Menurut standar pengauditan, faktor yang membedakan kecurangan dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya, yang berakibat terjadinya salah saji dalam laporan keuangan, berupa tindakan yang sengaja atau tidak disengaja (IAI, 2001).
Terjadinya kecurangan– suatu tindakan yang disengaja - yang tidak dapat terdeteksi oleh suatu pengauditan dapat memberikan efek yang merugikan dan cacat bagi proses pelaporan keuangan. Adanya kecurangan berakibat serius dan membawa
banyak kerugian. Meski belum ada informasi spesifik di Indonesia, namun berdasarkan laporan oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), pada tahun 2002 kerugian yang diakibatkan oleh kecurangan di Amerika Serikat adalah sekitar 6% dari pendapatan atau $600 milyar dan secara persentase tingkat kerugian ini tidak banyak berubah dari tahun 1996. Dari kasus-kasus kecurangan tersebut, jenis kecurangan yang paling banyak terjadi adalah asset misappropriations (85%), kemudian disusul dengan korupsi (13%) dan jumlah paling sedikit (5%) adalah kecurangan laporan keuangan (fraudulent statements). Walaupun demikian kecurangan laporan keuangan membawa kerugian paling besar yaitu median kerugian sekitar $4,25
juta (ACFE 2002).
Kasus-kasus skandal akuntansi dalam tahun-tahun belakangan ini memberikan bukti lebih jauh tentang kegagalan audit yang membawa akibat serius bagi masyarakat bisnis. Kasus seperti itu terjadi pada Enron, Global Crossing, Worldcom di Amerika Serikat yang mengakibatkan kegemparan besar dalam pasar modal. Kasus serupa terjadi di Indonesia seperti PT Telkom dan PT Kimia Farma. Meski beberapa salah saji yang terjadi belum tentu terkait dengan kecurangan, tetapi faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan kecurangan oleh manajemen terbukti ada pada kasus-kasus ini.
Sebagai contoh di Indonesia dapat dikemukakan kasus yang terjadi pada PT Kimia Farma Tbk (PT KF). PT KF adalah badan usaha milik negara yang sahamnya telah diperdagangkan di bursa. Berdasarkan indikasi oleh Kementerian BUMN dan pemeriksaan Bapepam (Bapepam, 2002) ditemukan adanya salah saji dalam laporan
keuangan yang mengakibatkan lebih saji (overstatement) laba bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 miliar yang merupakan 2,3 % dari penjualan dan 24,7% dari laba bersih. Salah saji ini terjadi dengan cara melebihsajikan penjualan dan persediaan pada 3 unit usaha, dan dilakukan dengan menggelembungkan harga persediaan yang telah diotorisasi oleh Direktur Produksi untuk menentukan nilai persediaan pada unit distribusi PT KF per 31
Desember 2001. Selain itu manajemen PT KF melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada 2 unit usaha. Pencatatan ganda itu dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh auditor eksternal.
Terhadap auditor eksternal yang mengaudit laporan keuangan PT KF per 31 Desember 2001, Bapepam menyimpulkan auditor eksternal telah melakukan prosedur audit sampling yang telah diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik, dan tidak ditemukan adanya unsur kesengajaan membantu manajemen PT KF menggelembungkan keuntungan. Bapepam mengemukakan proses audit tersebut tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan PT KF. Atas temuan ini, kepada PT KF Bapepam memberikan sanksi administratif sebesar Rp 500 juta, Rp 1 milyar terhadap direksi lama PT KF dan Rp 100 juta kepada auditor eksternal (Bapepam 2002).
Menjadi permasalahan yang menimbulkan pertanyaan di sini: Mengapa auditor eksternal gagal dalam mendeteksi kecurangan dalam laporan keuangan seperti yang dicontohkan di atas? Mestinya bila auditor eksternal yang bertugas pada audit atas perusahaan-perusahaan ini menjalankan audit secara tepat termasuk dalam hal pendeteksian kecurangan maka tidak akan
terjadi kasus-kasus yang merugikan ini. Faktor apa saja yang menghalangi auditor eksternal dapat menjalankan tugasnya sehingga kecurangan dapat terdeteksi? Selanjutnya bila faktor tersebut terjawab, bagaimana upaya perbaikan sehingga auditor eksternal mampu memenuhi harapan pengguna laporan keuangan?
Mengingat akan arti pentingnya tanggung jawab auditor ini, maka makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor penyebab kegagalan auditor eksternal dalam pendeteksian kecurangan. Untuk melakukan
hal di atas, pembahasan didasarkan atas literatur-literatur profesional dan penelitian-penelitian empiris yang berkaitan. Dari uraian ini diharapkan agar didapatkan gambaran jelas dan komprehensif tentang masalah ini dan dapat digunakan untuk mengevaluasi berbagai langkah untuk memperbaiki kinerja auditor dalam pendeteksian kecurangan. Untuk menjawab
pertanyaan permasalahan di atas bukan merupakan tugas mudah mengingat literatur dalam bentuk opini maupun penelitian empiris maupun rangkuman penelitian amat tersebar-sebar dan dalam skop atau lingkup kecil. Dalam makalah ini, analisis dilakukan dengan memetakan secara komprehensif faktor-faktor penyebab secara metatheory dan berdasarkan faktor-faktor tersebut menganalisis upaya perbaikan yang mungkin diusulkan.

PERKEMBANGAN STANDAR-STANDAR PENGAUDITAN YANG MENGATUR PENDETEKSIAN KECURANGAN OLEH AUDITOR EKSTERNAL
Setelah Komisi Cohen mengeluarkan rekomendasi penting mengenai tanggung jawab auditor eksternal, di tahun 1980an dibentuk lagi komisi khusus yang bertugas untuk memberi rekomendasi atas upaya meningkatkan proses mendeteksi dan mengatasi pelaporan keuangan yang mengandung kecurangan. Komisi yang bernama National Commission on Fraudulent Financial Reporting atau sering disebut Komisi Treadway ini di tahun 1987 menghasilkan rekomendasi penting yang terbagi tiga bagian berdasarkan pihak-pihak yang dituju, yaitu rekomendasi-rekomendasi kepada perusahaan publik, kepada pihak akuntan publik independen dan kepada Securities and Exchange Commission (SEC) dan pihak lainnya. Salah satu rekomendasi
penting Komisi Treadway kepada pihak akuntan publik independen adalah perlunya perubahan standar pengauditan yang mengakui secara lebih baik tanggung jawab auditor untuk mendeteksi kecurangan atas laporan keuangan.
Sebagai tanggapan atas adanya expectation gap, AICPA pada tahun 1988 telah mengeluarkan standar pengauditan yang sering disebut the expectation gap auditing standards, yang terdiri sembilan standar. Salah satunya yaitu SAS No. 53, The Auditor’s Responsibility to Detect and
Report Errors and Irregularities, - menggantikan standar sebelumnya SAS No. 16. Standar ini menjelaskan bahwa tanggung jawab auditor eksternal adalah untuk mendeteksi salah saji material. Hal ini dicapai dengan mendiskusikan karakteristik klien yang disebut red flag – yang meningkatkan risiko salah saji material dan harus meningkatkan sikap skeptisisme oleh auditor. Namun standar ini belum tegas atau eksplisit menggunakan istilah fraud atau kecurangan tetapi irregularities atau ketidakberesan. Menurut PSA No. 32 yang mengadopsi SAS No.53, ketidakberesan adalah salah saji atau hilangnya jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan yang disengaja. Lebih lanjut ketidakberesan
mencakup kecurangan dalam pelaporan keuangan yang menyesatkan, yang seringkali disebut kecurangan manajemen dan penyalahgunaan aktiva, yang seringkali disebut sebagai unsur penggelapan.
Dalam perkembangannya, AICPA Expectation Gap Roundtable tahun 1992 memunculkan pertanyaan apakah SAS No. 53 telah secara efektif mampu mempersempit kesenjangan persepsi. Lebih lanjut, Public Oversight Board of the AICPA
SEC Practice menyimpulkan di tahun 1993 telah ada pendapat yang menyebar bahwa auditor harus mengemban tanggung jawab yang lebih besar daripada sebelumnya untuk mendeteksi management fraud. Akhirnya, Auditing Standard Board (ASB) menyimpulkan bahwa para praktisi tidak benar-benar memahami tanggung jawabnya
dalam mendeteksi kecurangan, dan standar yang ada gagal untuk memberikan pedoman yang mencukupi tentang banyaknya tugas dan dokumentasi yang diperlukan dalam melaksanakan tanggung jawab itu (McConnell dan Banks, 1997).
Tahun 1997, ASB mengeluarkan SAS No. 82, Consideration of Fraud in Financial Statement Audit, untuk menggantikan SAS No. 53. Sesuai dengan judulnya standar secara eksplisit menunjuk
pada kecurangan, dan di dalamnya mendeskripsikan kecurangan dan karakteristiknya, meminta agar dilakukan penilaian risiko kecurangan secara spesifik untuk tiap penugasan audit, dan memberikan pedoman kapan auditor mengidentifikasi faktor risiko kecurangan. Selain itu diberikan juga pedoman untuk pengevaluasian hasil, persyaratan untuk dokumentasi serta komunikasi mengenai kecurangan baik internal maupun eksternal.
Setelah terjadinya gelombang skandal akuntansi besar-besaran seperti kasus Enron di tahun 2001, perhatian publik memicu tindakan drastic oleh pemerintah dan kongres Amerika Serikat dengan mengeluarkan Undang-undang Sarbanes-
Oxley di tahun 2002. AICPA demikian pula menanggapi dengan merasa perlu untuk mengubah kembali SAS No. 82 menjadi SAS No.99 di tahun 2002. Perubahan ini banyak mengambil rekomendasi dari the Panel of Audit Effectiveness, suatu panel yang dibentuk atas inisiatif Ketua SEC Arthur Levitt untuk tujuan menilai apakah audit independen atas laporan keuangan perusahaan publik telah cukup melayani dan melindungi kepentingan investor (Pany dan Whittington, 2001). Masukan untuk SAS terbaru ini juga didapat dari berbagai penelitian oleh pihak akademisi. Terbitnya SAS No. 99 merupakan upaya terobosan baru untuk mengatasi kelemahan SAS No. 82. Walaupun standar baru ini tidak mengubah tanggung jawab pendeteksian kecurangan oleh auditor yang berlaku sebelumnya, tetapi standar ini memperkenalkan konsep, persyaratan dan panduan baru yang membantu auditor memenuhi tanggung jawabnya.



LINGKUNGAN PEKERJAAN AUDIT YANG
MENGURANGI KUALITAS AUDIT
Lingkungan pekerjaan audit merupakan hal penting yang mempengaruhi kualitas audit termasuk juga dalam kualitas pendeteksian kecurangan. Komisi Treadway dalam rekomendasinya menuliskan “Komisi mendorong agar sensitivitas yang lebih besar pada bagian kantor akuntan publik terhadap tekanan-tekanan dalam KAP yang kemungkinan berdampak buruk bagi kualitas audit” (National Commission on Fraudulent Financial Reporting, 1987). Tekanan-tekanan yang muncul dari lingkungan pekerjaan ini harus dengan tepat dikelola agar tidak berakibat buruk bagi kualitas audit. Tekanan-tekanan lingkungan pekerjaaan itu dapat dibagi menjadi atas beberapa hal yang diterangkan di bawah yaitu tekanan kompetisi atas fee, tekanan waktu dan relasi hubungan auditor-auditee.

Tekanan Kompetisi atas Fee Audit
Kompetisi yang semakin tajam di antara kantor akuntan publik untuk memperebut klien memang tidak terhindarkan lagi dalam bisnis jasa akuntansi. Namun hal ini mempunyai implikasi yang perlu menjadi perhatian oleh pihak profesi akuntan publik yaitu kompetisi yang semakin tajam akan mengakibatkan penekanan untuk penurunan fee audit. Tekanan ini akan mengakibatkan KAP mengurangi pekerjaan audit untuk mempertahankan marjin labanya (AICPA
1978) dan mengarah pada perubahan baik atas kejadian kecurangan maupun pendeteksian kecurangan. Untuk menjaga agar marjin laba tetap menguntungkan, maka biaya harus ditekan dan efisiensi diutamakan. Di pihak lain pendeteksian kecurangan yang ekstensif memakan biaya besar dan tidak efisien. Melaksanakan pendeteksian kecurangan mungkin efektif untuk kasus audit yang mengandung kecurangan, namun tidak akan efisien pada kasus pengauditan pada klien yang tidak terjadi kecurangan. Banyak manajemen KAP keberatan atas pelaksanaan pendeteksian kecurangan yang terlalu ekstensif dilatarbelakangi oleh hal ini.
Tekanan kompetisi jelas membawa konsekuensi bagi kualitas pekerjaan auditor eksternal. Studi eksperimen ekonomi oleh Matsumura dan Tucker (1992) menunjukkan beberapa hal tentang masalah ini. Dalam penelitian ini mereka memanipulasi penalti atas auditor, persyaratan pengauditan, struktur pengendalian internal, dan fee audit untuk menguji efek dari dari variable-variabel ini terhadap pendeteksian kecurangan dan kejadian atau insiden kecurangan. Mereka menemukan kenaikan pada penalti atas auditor menghasilkan penurunan terjadinya kecurangan dan meningkatkan usaha pendeteksian kecurangan. Demikian pula kenaikan dalam jumlah minimum pengujian atas kecurangan meningkatkan pendeteksian kecurangan dan menurunkan terjadinya kecurangan, serta pengendalian internal yang lebih kuat mengarah pada pendeteksian kecurangan yang lebih sering dan menurunkan terjadinya kecurangan. Temuan eksperimen ekonomi, menunjukkan hal penting yaitu peningkatan fee audit menghasilkan penurunan pada kecurangan dan peningkatan jumlah pengujian transaksi dengan pengujian yang lebih sedikit secara keseluruhan. Dengan hasil ini, adanya penurunan fee akan berakibat kenaikan insiden kecurangan dan penurunan upaya pendeteksian kecurangan, dan berarti turunnya kualitas audit.

Tekanan Waktu
Tekanan waktu (time pressure) adalah ciri lingkungan yang biasa dihadapi auditor. Adanya tenggat waktu penyelesaian audit membuat auditor mempunyai masa sibuk yang menuntut agar dapat bekerja cepat. Para peneliti dan praktisi banyak berpendapat bahwa tekanan ini dapat memperburuk kualitas pekerjaan audit. Berkaitan dengan ini, penelitian oleh Braun
(2000) mengilustrasikan salah satu efek dari
tekanan waktu atas kinerja auditor dalam pendeteksian kecurangan. Braun menunjuk bahwa pengauditan dilaksanakan dalam suatu lingkungan multi tugas dimana di bawah tekanan waktu, beberapa tugas akan lebih diprioritaskan dibandingkan tugas lainnya. Braun menguji hipotesisnya yaitu bila tekanan waktu ditingkatkan dalam lingkungan multi tugas, kinerja tugas yang lebih rendah/subsidiary (yaitu sensitivitas
terhadap isyarat kecurangan) akan menurun
sedangkan kinerja tugas yang dominan (mendokumentasi bukti) akan tetap tidak berubah. Hasil penelitian menunjukkan auditor yang berada di bawah tekanan waktu yang lebih akan kurang sensitif terhadap isyarat kecurangan sehingga kurang mungkin untuk dapat mendeteksi kecurangan. Walaupun begitu, tekanan waktu tidak mempengaruhi kinerja auditor yang berkaitan dengan pengumpulan bukti atas frekuensi dan jumlah salah saji. Hasil ini konsisten dengan penelitian-penelitian dalam bidang psikologi yang memprediksi bahwa terdapat pengurangan dalam perhatian bila seseorang diperhadapkan dengan tekanan waktu, dan menunjukkan bahwa tekanan waktu akan menyebabkan auditor gagal untuk menghadirkan sinyal-sinyal kecurangan dalam bukti audit.

Hubungan Auditor-Auditee
Beberapa pihak berpendapat bahwa komunikasi memainkan peranan penting dalam mendeteksi kecurangan. Beberapa riset (contohnya Hooks et al. 1994) melaporkan adanya peran komunikasi dalam pendeteksian kecurangan, yaitu (1) komunikasi dengan personel klien penting dalam mendeteksi kecurangan (2) kemungkinan menerima komunikasi sensitif dari personel klien sangat tergantung dari kuatnya hubungan antara auditor dengan orang yang mengetahui adanya tindakan perbuatan salah itu, dan (3) kemauan mengkomunikasi itu dipengaruhi oleh pemahaman orang yang mengetahui tindakan salah atas siapa yang memperoleh keuntungan dari tindakan salah itu–apakah pelakunya atau organisasi atau keduanya. Hal yang terakhir ini relevan dalam upaya melaporkan kecurangan manajemen, karena kecurangan sering melibatkan (paling tidak) keuntungan jangka pendek bagi pelakunya, perusahaan dan orang yang mengetahuinya. Hasil temuan Schultz dan Hooks (1998) mendukung hal (2) di atas dan mereka menyimpulkan semakin kuat hubungan antara karyawan klien yang mengamati tindakan kecurangan dengan auditor, maka lebih cenderung pengamat melaporkan tindakan salah (wrongdoing).
Walaupun kedekatan hubungan antara auditor dengan auditee mempunyai implikasi atas independensi dan obyektivitas auditor, namun Schultz dan Hooks berargumen kedekatan ini memperkuat kepercayaan dan komunikasi sehingga komunikasi sensitif akan diperlakukan bijaksana dan tindakan tepat dapat dilakukan dengan cara diplomatis namun efektif. Meningkatnya komunikasi ini juga akan menambah kredibilitas terhadap laporan keuangan. Komunikasi ini juga tampaknya lebih efektif dalam menemukan kecurangan dibandingkan menggunakan metode dokumenter.
Namun dalam praktek di lapangan, banyak hal yang menghambat komunikasi yang baik ini. Schultz dan Hooks menjelaskan salah satu sebabnya adalah tekanan kompetisi yang menekankan efisiensi dan mengarahkan perhatian pada usaha mengejar pendapatan. Auditor lebih dituntut untuk mencapai efisiensi audit yang maksimum, dan meluangkan waktu untuk membangun hubungan dengan klien tidak dianggap sebagai aktivitas yang sesuai. Selain itu banyaknya perputaran para partner yang pindah dan masuk tidak memungkinkan menjalin hubungan baik dengan manajemen puncak klien. Klien juga
banyak yang berpindah auditor, dan seringkali menjalin hubungan untuk pertama kali ini juga menimbulkan masalah serius.

METODE DAN PROSEDUR AUDIT YANG
TIDAK EFEKTIF DALAM PENDETEKSIAN
KECURANGAN
Komisi Cohen di tahun 1978 telah menyebutkan bahwa metode dan prosedur audit yang tradisional tidaklah selalu dapat memberikan keyakinan yang seharusnya diberikan dalam upaya pendeteksian kecurangan (AICPA 1978). Komisi ini menyarankan agar auditor menaruh perhatian atas efektivitas teknik pengauditan konvensional dan perlunya pengembangan teknik yang baru. Sampai sekarang memang permasalahan satu ini masih terus diusahakan baik oleh para praktisi maupun akademisi. Standar pengauditan tentang pendeteksian kecurangan seperti diuraikan di depan memang tidak banyak membantu dalam mendorong penggunaan teknik pengauditan baru ini. Salah satu penjelasan atas adanya temuan penelitian Zimbelman (1997), tentang tidak berubahnya sifat dari rencana audit walaupun SAS No. 82 telah membuat auditor sadar akan risiko kecurangan, adalah auditor benar-benar tidak mengetahui bagaimana mengubah program audit mereka agar dapat secara efektif mendeteksi kecurangan (Hoffman 1997).
Zimbelman sendiri berdasarkan kesimpulan ini mendukung perlu adanya pendekatan audit baru yang tidak statis dengan adanya risiko kecurangan.
Beberapa peneliti telah memberi masukan penting tentang hal ini. Johnson et al. (1991) yang mengambil subyek para partner audit menemukan bahwa partner yang mampu melihat isyarat (cues) melalui suatu “fault” model dapat mengatasi framing effect dan mampu mendeteksi kecurangan, dibanding partner yang menggunakan “functional” model. Fault model yaitu model yang memberi perhatian pada hal-hal yang mengandung kesalahan. Fault model ini diperoleh melalui pengalaman di bidang industri tertentu atau melalui pengalaman atas penugasan yang pernah terjadi kekeliruan atau kecurangan yang material. Model ini memungkinkan auditor memfokuskan diri pada di mana manipulasi terjadi, sehingga skeptisisme yang sepantasnya dapat diterapkan. Sedangkan model fungsional memberikan ekspektasi berdasarkan hubungan antara akun-akun seperti penjualan dan marjin laba. Model fungsional ini adalah model yang terdapat pada metode dan prosedur audit tradisional yang biasa dikenal.
Studi yang lain, memberikan pembedaan yang senada yaitu oleh Erickson et al. (2000) yang mencatat perbedaan antara bukti yang berdasar transaksi (transaction-based evidence) dan bukti yang berdasar pemahaman bisnis (business understanding based evidence). Dalam studi mereka yang dilakukan berdasarkan audit atas Lincoln Savings and Loan, mereka mengilustrasikan
bahwa auditor perlu memperoleh suatu pemahaman eksternal atas bisnis klien secara ekonomi dan mengintegrasikan pemahaman ini dengan bukti-bukti internal. Studi ini memberikan bukti dalam kasus Lincoln Savings and Loan, transaksi yang mengandung kecurangan dipandang telah dicatat secara benar oleh auditor karena mereka hanya berfokus pada bentuk akuntansi transaksi-transaksi dan tidak melihat substansi ekonomi dari perjanjian-perjanjian bisnis yang terjadi. Peneliti berargumen jika substansi ekonomi dari transaksi itu benar-benar dipertimbangkan maka auditor dapat waspada terhadap kemungkinan adanya pelaporan yang mengandung kecurangan. Menurut Erickson et al., pemahaman tentang bisnis klien hanya sepintas saja disinggung dalam standar pengauditan yang ada, dan evaluasi atas substansi transaksi yang didasarkan atas pengetahuan mengenai bisnis klien sama sekali tidak dibicarakan. Demikian pula, SAS No. 82 kurang memberikan panduan dalam memahami bisnis klien baik berdasarkan data internal maupun eksternal. SAS No. 82 juga tidak memuat apapun atas integrasi analisis data-data tersebut dengan prosedur terinci yang dilaksanakan.
Erickson et al. merekomendasikan pendekatan baru terhadap praktek pengauditan yang secara eksplisit menanggapi atas beberapa hal yang dikemukakan mereka. Pendekatan yang melaksanakan audit dengan suatu sudut pandang strategis ini mempertimbangkan strategi bisnis klien dan keterhubungannya dengan industri dan ekonomi keseluruhan. Pendekatan yang disebut strategic-risk approach atau business risk audit model (Knechel 2000 dan Eilifsen et al. 2001) ini
mempercayai evaluasi praktik akuntansi didasarkan atas pemahaman bisnis daripada sekedar evaluasi bisnis yang hanya berdasarkan atas prosedur akuntansi.

ANALISIS ATAS UPAYA PERBAIKAN
DALAM PENDETEKSIAN KECURANGAN
Identifikasi atas faktor-faktor penyebab yang diuraikan sebelumnya menjadi dasar untuk kita memahami kesulitan dan hambatan auditor menjalankan tugasnya dalam mendeteksi kecurangan. Meski demikian faktor-faktor itu tidaklah menjadi alasan untuk menghindarkan upaya pendeteksian kecurangan yang lebih baik. Berikut analisis atas masing-masing faktor tersebut.
Faktor pertama yaitu karakteristik terjadinya kecurangan dan kemampuan auditor menghadapinya merupakan faktor tersulit diatasi. Seperti telah dikemukakan, pelatihan dan pengalaman audit saja tidak cukup bagi auditor untuk dapat membongkar pengelabuan atau penyembunyian yang disengaja melalui praktik kecurangan. Auditor berpengalaman terbaik adalah auditor yang sering menghadapi dan menemukan kecurangan, dan ini sedikit sekali ditemukan. Oleh karena upaya untuk memperbaiki kemampuan auditor tidak bisa bertumpu pada pelatihan dan pengalaman audit yang biasa. Perlu ada alat bantu (decision aids) yang memadai untuk membantu auditor memperbaiki kemampuan deteksinya.
Faktor kedua yaitu kurangnya standar pengauditan yang memberikan arahan yang tepat merupakan faktor yang relatif mampu ditanggulangi. Sudah ada upaya perbaikan dengan keluarnya standar pengauditan baru di Amerika Serikat yaitu SAS No. 99. Seperti dikemukakan di depan, terbitnya dan diterapkannya standar baru ini membawa harapan baru bagi perbaikan upaya dan peningkatan keahlian auditor. Berbagai cara dalam standar ini menggariskan perlu upaya peningkatan skeptisisme profesional sehingga meningkatkan kewaspadaan auditor atas kemungkinan kecurangan.
Faktor ketiga yang berkaitan dengan lingkungan pekerjaan audit yang mengurangi kualitas
audit merupakan faktor yang relatif dapat terkendalikan dan mampu diperbaiki. Lingkungan pekerjaan auditor harus diciptakan untuk mampu menghasilkan kualitas audit yang tinggi. Tiga aspek utama dalam lingkungan pekerjaan audit yaitu tekanan kompetisi atas fee audit, tekanan waktu dan hubungan auditor-auditee, dapat diatasi sepenuhnya oleh manajemen kantor akuntan publik (KAP). Ketiga aspek ini pada intinya berujung pada penekanan biaya atau efisiensi. Terdapat trade-off di sini di mana penekanan efisiensi yang berlebihan akan mengorbankan efektivitas audit. Meskipun demikian, bila hanya bertumpu pada kesadaran internal manajemen, upaya perbaikan belumlah cukup. Perlu adanya insentif dan disinsentif secara institusional yang mendorong manajemen mempertimbangkan trade-off dan memperbaiki kualitas audit. Sebagai contoh pemberian sanksi atau penalti bagi kegagalan audit merupakan suatu cara untuk mendorong auditor memperhatikan kualitas
auditnya. Selain mekanisme pengawasan baik dari organisasi profesi maupun pemerintah melalui otoritas pasar modal menjaga agar kegagalan dapat dicegah dan ditemukan. Mekanisme tata kelola organisasi (corporate governance) oleh auditee yang dijalankan dengan efektif melalui komite audit juga akan mampu memantau dan memperhatikan proses pengauditan yang sesuai harapan.
Terakhir faktor keempat yaitu metode dan prosedur audit dalam pendeteksian kecurangan merupakan faktor yang relatif dapat dan telah diperbaiki. Diterapkan pendekatan yang lebih bersifat holistik melalui metode yang berbasis risiko bisnis dan strategik dapat menjadi acuan sebagai metode yang baik. Meski banyak perdebatan tentang motivasi dan kemanfaatan metode baru ini, namun upayanya yang berusaha mengatasi kelemahan metode audit tradisional perlu diberikan dukungan. Beberapa KAP telah mengimplementasikan metode atau pendekatan baru ini, dan riset-riset terus berjalan untuk membuktikan manfaatnya.

KESIMPULAN
Dari uraian permasalahan-permasalahan dalam pendeteksian kecurangan yang dikemukakan di depan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1) Pertimbangan atas kecurangan dalam pelaporan keuangan yang semakin meningkat belakangan ini timbul dari adanya upaya mempersempit kesenjangan harapan antara pengguna dengan pihak penyedia jasa pengauditan. Disamping untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat atas profesi akuntan public dan mengurangi biaya-biaya litigasi, 2) pendeteksian kecurangan dalam audit laporan keuangan oleh auditor perlu dilandasi dengan pemahaman atas sifat, frekuensi dan kemampuan pendeteksian oleh auditor. Sifat terjadinya kecurangan yang melibatkan penyembunyian dan frekuensinya jarang dihadapi auditor, seharusnya tidak membuat auditor berpuas diri dengan pengauditan yang ada sekarang. Permasalahan bahwa terdapat keterbatasan auditor dalam pelaksanaan pendeteksian kecurangan merupakan tantangan yang perlu dihadapi pihak profesi dan akademisi, 3) sejauh ini standar pengauditan mengenai pendeteksian kecurangan telah terus-menerus diupayakan untuk memperbaiki praktek pengauditan yang berjalan. Patokan yang selalu diacu adalah efektivitas dari standar ini dalam mengarahkan keberhasilan pendeteksian kecurangan. Beberapa standar terdahulu kurang memberikan pedoman dalam memberikan arah pendeteksian kecurangan. Standar terbaru diharapkan membawa harapan baru dengan mengatasi kelemahan-kelemahan sebelumnya. Perlu lebih banyak riset-riset empiris yang mendukung validitas atas efektivitas standar baru ini, seperti disarankan Bedard et al. (2001) dan diperlihatkan oleh riset Carpenter (2007). Khusus untuk di Indonesia, mengingat kegunaannya, ada baiknya Ikatan Akuntan Indonesia segera mengadopsi SAS No. 99
untuk menggantikan PSA No. 70 agar praktik pendeteksian kecurangan yang terbaru dapat diarahkan penerapannya, 4) permasalahan yang terdapat pada lingkungan pekerjaan audit bila tidak ditangani dengan baik akan berakibat buruk
pada kualitas audit. Adanya tekanan kompetisi, tekanan waktu dan tekanan hubungan dengan klien demikian juga dapat berdampak pada keberhasilan pendeteksian kecurangan. Pihak KAP perlu terus-menerus menyadari masalah ini dan konsekuensinya serta menjaga agar tekanantekanan dalam lingkungan ini tidak bertambah buruk.
Hal yang masih banyak dikerjakan ke masa depan adalah mencari dan memperbaiki metode dan prosedur yang paling tepat dalam melakukan pendeteksian kecurangan. Metode dan prosedur tradisional tidaklah memadai dalam usaha pendeteksian kecurangan, sehingga riset-riset mendatang perlu menjawab tantangan ini.

DAFTAR PUSTAKA
American Institute of Certified Public
Accountants (AICPA). 1978. The Commission on Auditors Responsibilities: Report, Conclusions,
and Recommendations. New York: AICPA.
______. 1988. Statement on Auditing
Standards (SAS) No. 53: The Auditors Responsibilities to Detect and Report Errors and Irregularities. New York: AICPA.
______. 1997. Statement on Auditing
Standards (SAS) No. 82: Consideration of Fraud in Financial Statement Audit. New York: AICPA
______. 2002. Statement on Auditing
Standards (SAS) No. 99: Consideration of Fraud in Financial Statement Audit. New York: AICPA.
Association of Certified Fraud Examiners
(ACFE). 2002. “Report to Nation”. http://marketplace. cfenet.com/Download.asp.
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
2002. Siaran Pers Badan Pengawas Pasar Modal, 27 Desember.
Bedard, J, R. Simnett dan J.A. DeVoe
Talluto. ”Auditors’ Consideration of Fraud: How Behavioral Research Can Address the Concerns of Standard Setters”. Advances in Accounting Behavioral Research, Vol. 4: 77-101.
Braun, R.L. 2000. “The Effect of Time
Pressure on Auditor Attention to Qualitative Aspects of Misstatement Indicative of Potential Fraudulent Financial Reporting ”Accounting, Organizations and Society, 25 (3): 243-259.
Carcello, J.V. dan Z. Palmrose.1994.
“Auditor          Litigation and Modified Reporting on Bankrupt Clients”. Journal of Accounting Research, (Supplement): 1-29.
Carpenter, T.D. 2007. “Audit Team
Brainstorming, Fraud Risk Identification, and Fraud Risk Assessment: Implications of SAS No. 99”.The Accounting Review, 82 (5): 1119-1140.
Eilifsen, A., W.R. Knechel dan P. Wallage.
2001. “Application of the Business Risk Audit Model: A Field Study”. Accounting Horizons, 15 (September): 193-207


Eining, M.M., D.R. Jones dan J.K.
Loebbecke. 1997. “Reliance on Decision Aids: An Examination of Auditors’ Assessment of Management Fraud”. Auditing : A Journal of
Practice & Theory 16 (Fall): 1-19.
Erickson, M., B.W. Mayhew dan W.L.
Felix. 2000. “Why Do Audits Fail? Evidence from Lincoln Savings and Loan”. Journal of Accounting Research, 38 (Spring): 165-194.
Epstein, M. dan M. Geiger.1994. “Investors
View of Audit Assurance: Recent Evidence of the Expectation Gap”. Journal of Accountancy, January: 60-66.
Glover, S.M., D.F. Prawitt, J.J. Schultz dan
M.F. Zimbelman. 2003. “A Test of Changes in Auditors’ Fraud-Related Planning Judgment since the Issuance of SAS No. 82.” Auditing : A Journal of Practice & Theory, 22 (September): 237-251.
Guy, D. dan J. Sullivan. 1988. “The
Expectation Gap Auditing Standards”. Journal of Accountancy, April: 36-46.
Hackenbrack, K. 1992. “Implications of
Seemingly Irrelevant Evidence in Audit Judgment”. Journal of Accounting Research, (Spring): 54-76.


Hoffman, V.B. 1997. “Discussion of the
Effects of
SAS No. 82 on Auditors’ Attention to Fraud Risk Factors and Audit Planning Decisions”. Journal of Accounting Research, (Supplement): 99-104.
Hooks, K.L. 1994. “Enhancing
Communication to Assist in Fraud Prevention and Detection”. Auditing : A Journal of Practice & Theory, 13 (Fall): 86-117.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). 1993.
Pernyataan Standar Auditing (PSA) No. 32: Tanggung Jawab Auditor untuk Mendeteksi dan Melaporkan Kekeliruan dan Ketidakberesan. Jakarta: IAI.
____________. 2001. Pernyataan Standar
Auditing (PSA) No. 70: Pertimbangan atas Kecurangan dalam Audit Laporan Keuangan. Jakarta: IAI.
Jamal, K; P.E Johnson dan R.G. Berryman.
1995. “Detecting Framing Effect in Financial Statements”. Contemporary Accounting Research, 12: 85-105.
Johnson, P.E., K. Jamal, dan R.G.
Berryman. 1991. “Effects of Framing on Auditor Decisions”. Organizations Behavior and Human Decision Process, 50: 75-105.


Knechel, W.R. 2000. “Behavioral Research
In Auditing and Its Impact on Audit
Education”. Issues in Accounting Education, 15 (4): 695-712.
Loebbecke, J.K., M.M. Eining dan J.J.
Willingham. 1989. “Auditors’ Experience with Irregularities: Frequency, Nature and Detectability”. Auditing : A Journal of Practice & Theory, 9 (Fall): 1-28.
Matsumura, E.M. dan R.R. Tucker. 1992.
“Fraud Detection: A Theoretical Foundation”. Accounting Review, 67: 753-782.
Mayangsari, S dan B. Sudibyo. 2006. “An
Empirical Analysis of Auditor Litigation”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 9 (1): 65-86.
McConnell, D.K. dan G.Y. Banks. 1997.”     Implementing New Fraud Auditing
Standard         in Your Auditing Practice”. Ohio CPA          Journal, July-September: 26-30.
National Commission on Fraudulent
Financial Reporting. 1987. Report of National Commission on Fraudulent Financial Reporting (Treadway Report). Washington D.C.: U.S. Governmant Printing Office.
Nieschwietz, R.J., J.J. Schultz dan M.F.
Zimbelman. 2000. “Empirical Research on External Auditors’ Detection of Financial Statement Fraud”. Journal of Accounting Literature, 19: 190-246.
Palmrose, Z. 1987. “Litigations and
Independent Auditors: the Role of Business Failure and Management Fraud”. Auditing : A Journal of Practice & Theory 6 (Spring): 90-103.
________. 1991. An Analysis of Auditor
Litigation Disclosures. Auditing : A Journal of Practice & Theory, (Supplement): 54-71.
Pany, K.J. dan O.R. Whittington. 2001.
“Research Implications of the Auditing Standard Board’s Current Agenda”. Accounting Horizons, 15 (4): 401-411.
Ramos, M. 2003. Auditor’s Responsibility
for Fraud Detection. Journal of Accountancy, 195 (1): 28-36.
Schultz, J.J dan K.L. Hooks. 1998. The
Effect of Relationship and Reward on Reports of Wrongdoing. Auditing: A Journal of Practice & Theory, 17 (Fall): 15-35.
Zimbelman, M.F. 1997. The Effects of SAS
No. 82 on Auditors’ Attention to Fraud Risk Factors and Audit Planning Decisions. Journal of Accounting Research, (Supplement): 75-97.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar