Pendeteksian
Kecurangan (Fraud) Laporan Keuangan oleh
Auditor
Eksternal
Tri
Ramaraya Koroy
STIE
Nasional Banjarmasin, Indonesia
Email:
trkoroy@yahoo.com
ABSTRAK
Tujuan makalah ini adalah mengidentifikasi dan
menguraikan permasalahan dalam pendeteksian kecurangan dalam audit atas laporan
keuangan oleh auditor eksternal. Meskipun pendeteksian kecurangan penting untuk
meningkatkan nilai pengauditan, namun terdapat banyak masalah yang dapat
menghalangi implementasi dari pendeteksian yang tepat. Berdasarkan telaah atas
berbagai penelitian yang telah dilakukan, ada terdapat empat faktor penyebab
besar yang diidentifikasikan melalui makalah ini. Pertama, karakteristik
terjadinya kecurangan sehingga menyulitkan proses pendeteksian. Kedua, standar
pengauditan belum cukup memadai untuk menunjang pendeteksian yang sepantasnya.
Ketiga, lingkungan kerja audit dapat mengurangi kualitas audit dan keempat metode
dan prosedur audit yang ada tidak cukup efektif untuk melakukan pendeteksian
kecurangan. Berdasarkan permasalahan ini, perbaikan yang perlu disarankan untuk
diterapkan.
Kata
kunci: auditing, fraud, financial statement fraud
ABSTRACT
Objectives of this paper are to identify
and describe the problems in detecting the financial statement fraud in
auditing financial statements by external auditors. Although detection of fraud
is important to enhance the value of auditing, there are many problems that
impede the appropriate implementation of detection. Based on review of related
research that have bee done, there are four factors that identified in this
paper. First, the characteristic of fraud occurence made it difficult for
detection process. Second, auditing standards is not sufficiently supporst the
proper detection. Third, work environment of audit may reduce the quality and
the last, audit methods and procedures are not enough for efective detection. Based
on this identified problems, the improvement of implementation was suggested.
Keywords
: auditing, fraud, financial statement fraud.
PENDAHULUAN
Dalam mekanisme pelaporan keuangan, suatu audit
dirancang untuk memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan tidak dipengaruhi
oleh salah saji (mistatement) yang material dan juga memberikan
keyakinan yang memadai atas
akuntabilitas
manajemen atas aktiva perusahaan. Salah saji itu terdiri dari dua macam yaitu kekeliruan
(error) dan kecurangan (fraud). Fraud diterjemahkan dengan
kecurangan sesuai Pernyataan Standar Auditing (PSA) No. 70, demikian
pula
error dan irregularities masing-masing diterjemahkan sebagai kekeliruan
dan ketidakberesan sesuai PSA sebelumnya yaitu PSA No. 32.
Menurut standar pengauditan, faktor yang membedakan
kecurangan dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya, yang
berakibat terjadinya salah saji dalam laporan keuangan, berupa tindakan yang
sengaja atau tidak disengaja (IAI, 2001).
Terjadinya kecurangan– suatu tindakan yang disengaja
- yang tidak dapat terdeteksi oleh suatu pengauditan dapat memberikan efek yang
merugikan dan cacat bagi proses pelaporan keuangan. Adanya kecurangan berakibat
serius dan membawa
banyak
kerugian. Meski belum ada informasi spesifik di Indonesia, namun berdasarkan laporan
oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), pada tahun
2002 kerugian yang diakibatkan oleh kecurangan di Amerika Serikat adalah sekitar
6% dari pendapatan atau $600 milyar dan secara persentase tingkat kerugian ini tidak
banyak berubah dari tahun 1996. Dari kasus-kasus kecurangan tersebut, jenis kecurangan
yang paling banyak terjadi adalah asset misappropriations (85%),
kemudian disusul dengan korupsi (13%) dan jumlah paling sedikit (5%) adalah
kecurangan laporan keuangan (fraudulent statements). Walaupun demikian
kecurangan laporan keuangan membawa kerugian paling besar yaitu median kerugian
sekitar $4,25
juta
(ACFE 2002).
Kasus-kasus skandal akuntansi dalam tahun-tahun belakangan
ini memberikan bukti lebih jauh tentang kegagalan audit yang membawa akibat
serius bagi masyarakat bisnis. Kasus seperti itu terjadi pada Enron, Global
Crossing, Worldcom di Amerika Serikat yang mengakibatkan kegemparan besar dalam
pasar modal. Kasus serupa terjadi di Indonesia seperti PT Telkom dan PT Kimia
Farma. Meski beberapa salah saji yang terjadi belum tentu terkait dengan
kecurangan, tetapi faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan kecurangan oleh
manajemen terbukti ada pada kasus-kasus ini.
Sebagai contoh di Indonesia dapat dikemukakan kasus
yang terjadi pada PT Kimia Farma Tbk (PT KF). PT KF adalah badan usaha milik
negara yang sahamnya telah diperdagangkan di bursa. Berdasarkan indikasi oleh
Kementerian BUMN dan pemeriksaan Bapepam (Bapepam, 2002) ditemukan adanya salah
saji dalam laporan
keuangan
yang mengakibatkan lebih saji (overstatement) laba bersih untuk tahun
yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 miliar yang merupakan 2,3 % dari
penjualan dan 24,7% dari laba bersih. Salah saji ini terjadi dengan cara melebihsajikan
penjualan dan persediaan pada 3 unit usaha, dan dilakukan dengan
menggelembungkan harga persediaan yang telah diotorisasi oleh Direktur Produksi
untuk menentukan nilai persediaan pada unit distribusi PT KF per 31
Desember
2001. Selain itu manajemen PT KF melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada
2 unit usaha. Pencatatan ganda itu dilakukan pada unit-unit yang tidak
disampling oleh auditor eksternal.
Terhadap auditor eksternal yang mengaudit laporan
keuangan PT KF per 31 Desember 2001, Bapepam menyimpulkan auditor eksternal
telah melakukan prosedur audit sampling yang telah diatur dalam Standar
Profesional Akuntan Publik, dan tidak ditemukan adanya unsur kesengajaan membantu
manajemen PT KF menggelembungkan keuntungan. Bapepam mengemukakan proses audit
tersebut tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan
PT KF. Atas temuan ini, kepada PT KF Bapepam memberikan sanksi administratif
sebesar Rp 500 juta, Rp 1 milyar terhadap direksi lama PT KF dan Rp 100 juta kepada
auditor eksternal (Bapepam 2002).
Menjadi permasalahan yang menimbulkan pertanyaan di sini:
Mengapa auditor eksternal gagal dalam mendeteksi kecurangan dalam laporan keuangan
seperti yang dicontohkan di atas? Mestinya bila auditor eksternal yang bertugas
pada audit atas perusahaan-perusahaan ini menjalankan audit secara tepat
termasuk dalam hal pendeteksian kecurangan maka tidak akan
terjadi
kasus-kasus yang merugikan ini. Faktor apa saja yang menghalangi auditor
eksternal dapat menjalankan tugasnya sehingga kecurangan dapat terdeteksi?
Selanjutnya bila faktor tersebut terjawab, bagaimana upaya perbaikan sehingga auditor
eksternal mampu memenuhi harapan pengguna laporan keuangan?
Mengingat akan arti pentingnya tanggung jawab
auditor ini, maka makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis
faktor-faktor penyebab kegagalan auditor eksternal dalam pendeteksian
kecurangan. Untuk melakukan
hal
di atas, pembahasan didasarkan atas literatur-literatur profesional dan
penelitian-penelitian empiris yang berkaitan. Dari uraian ini diharapkan agar
didapatkan gambaran jelas dan komprehensif tentang masalah ini dan dapat digunakan
untuk mengevaluasi berbagai langkah untuk memperbaiki kinerja auditor dalam pendeteksian
kecurangan. Untuk menjawab
pertanyaan
permasalahan di atas bukan merupakan tugas mudah mengingat literatur dalam bentuk
opini maupun penelitian empiris maupun rangkuman penelitian amat tersebar-sebar
dan dalam skop atau lingkup kecil. Dalam makalah ini, analisis dilakukan dengan
memetakan secara komprehensif faktor-faktor penyebab secara metatheory dan
berdasarkan faktor-faktor tersebut menganalisis upaya perbaikan yang mungkin diusulkan.
PERHATIAN
LINGKUNGAN AUDIT
TERHADAP
KECURANGAN
Perhatian yang semakin besar atas kecurangan oleh
para praktisi, akademisi, dan pemerintah beberapa dekade belakangan terjadi
terutama oleh karena munculnya dua aspek yang berkaitan dalam lingkungan audit,
yaitu expectation gap dan litigation crisis (Nieschwietz et al.
2000). Di Amerika Serikat, pada akhir tahun 1970an, Commisions on Auditors
Responsibilities yang ditugaskan oleh AICPA atau sering disebut Komisi Cohen
telah mengidentifikasi adanya suatu kesenjangan harapan atau expectation gap
berdasarkan survei yang dilakukan mereka. Survei ini
mengindikasikan
bahwa standar yang diharapkan pengguna jasa auditor eksternal melebihi dari apa
yang dipercaya para auditor dapat mereka berikan. Mayoritas pihak yang
menggunakan dan mempercayai pekerjaan auditor eksternal menilai pendeteksian
kecurangan sebagai tujuan yang paling penting dari suatu audit (AICPA 1978). Penelitian
survei yang lain oleh Epstein dan Geiger (1994) mengindikasikan bahwa
kesenjangan harapan itu masih terus ada. Mayoritas masyarakat investor yang
disurvei menginginkan agar audit dapat memberikan keyakinan yang absolut (absolute
assurance) agar laporan keuangan
bebas
dari semua jenis salah saji material baik kekeliruan (unintentional
misstatements) maupun kecurangan.
Pihak profesi auditor eksternal, di pihak lain, cenderung
untuk menekankan keterbatasan kemampuan auditor mendeteksi kecurangan dan tidak
menanggapinya sebagai aspek positif (AICPA, 1978). Walaupun pada saat profesi pengauditan
masih di tahap awal–tahun 1850 sampai awal 1900an-auditor bertugas memberikan
keyakinan
yang hampir absolut terhadap kecurangan dan mismanagement yang
disengaja, namun dengan semakin berkembangnya perusahaan di Amerika Serikat
maka terjadi pergeseran dalam pengauditan (Epstein dan Geiger, 1994). Cara
pengauditan yang memverifikasi semua transaksi dan jumlah untuk maksud
mendeteksi kecurangan telah bergeser menjadi pengauditan yang bermaksud
menentukan kewajaran (fairness) pelaporan keuangan. Pergeseran ini
merupakan tanggapan atas semakin banyaknya volume
aktivitas
bisnis di awal abad 20 (sehingga pendeteksian kecurangan menjadi tidak feasible)
dan muncul dan semakin kuat peran pemegang saham. Pemegang saham dan pihak luar
lainnya semakin mempercayakan auditor untuk melakukan atestasi informasi yang
diberikan manajemen sehingga mengharuskan auditor menggeser tujuan utama audit
yaitu untuk memberikan keyakinan untuk informasi keuangan kepada pihak eksternal.
Praktik ini sampai sekarang masih berlaku dan tidak berbeda jauh dengan di awal
abad lalu yaitu fokus utama audit adalah memberikan reasonableness atas
laporan keuangan, seperti yang dipegang oleh AICPA.
Komisi Cohen menyebutkan walaupun harapan pengguna
di atas cukup beralasan, namun banyak pengguna tampaknya salah memahami peran
auditor eksternal dan sifat dari jasa yang auditor eksternal tawarkan (AICPA
1978). Epstein
dan
Geiger menyarankan untuk mempersempit kesenjangan itu, perlu ada upaya
meningkatkan pemahaman masyarakat atas sifat dan keterbasan inheren dari suatu
audit melalui pendidikan. Meski begitu, harapan masyarakat itu tetap harus
diperhatikan,
dan AICPA telah berusaha mengambil langkah positif untuk mengklarifikasi dan memperkuat
standar pengauditan yang berkaitan dengan tanggung jawabnya sesuai harapan masyarakat
(Guy dan Sullivan 1988).
Aspek masalah kedua adalah krisis litigasi. Di Amerika
Serikat, selama tahun-tahun 1970an dan 1980an, auditor eksternal mengalami
peningkatan signifikan dalam biaya litigasi, sehingga mengarah pada litigation
crisis. Palmrose (1987) menganalisis 472 kasus litigasi yang melibatkan 15
KAP terbesar selama periode 25 tahun sampai tahun 1985. Palmrose menemukan
peran kecurangan dalam litigasi auditor adalah signifikan. Dengan menggunakan
metode konservatif dalam menggolongkan suatu kasus sebagai kecurangan, Palmrose
menunjukkan bahwa lebih dari 40% sampelnya melibatkan kecurangan. Lebih dari separuh
dari semua kasus yang melibatkan kecurangan mengarah pada pembayaran settlement
lebih dari $1 juta sedangkan kasus lainnya yang mengharuskan pembayaran sebesar
ini hanya kurang dari 15% saja. Palmrose menyimpulkan bahwa kasus yang terlibat
kecurangan adalah kontributor utama untuk kategori pembayaran yang lebih dari
$1 juta sedangkan kasus yang terlibat kekeliruan adalah kontributor paling sering
untuk kategori yang klaimnya ditolak (dismissal). Analisis Palmrose
menunjukkan bahwa kasus-kasus kegagalan bisnis adalah yang
paling
sering ditolak jika kecurangan tidak terlibat di dalamnya. Studi Carcello dan
Palmrose (1994) lebih lanjut memang menemukan asosiasi positif signifikan
antara adanya ketidakberesan (irregularities) laporan keuangan dengan
litigasi terhadap auditor. Selain itu Palmrose (1991) menunjukkan bahwa
kecurangan juga mengarah pada meningkatnya publisitas tentang “kegagalan audit”
(audit failures). Biaya yang ditanggung KAP maupun pihak profesi karena
publisitas yang negatif ini tidaklah mudah dikuantifikasi. Walaupun demikian,
dalam hal ini adalah aman untuk
menyimpulkan
bahwa biaya tidak langsung dari gagalnya pendeteksian kecurangan sungguh signifikan
dalam profesi ini, sedangkan hasil utamanya adalah menambah kredibilitas untuk informasi
yang dihasilkan.
Kasus kegagalan audit yang berlanjut pada litigasi
juga ditemukan pada audit perusahaan di Indonesia. Berbagai kasus sejak kasus
Bank Summa pada tahun 1992, dan berbagai kasus lain sesudahnya, meski hampir
tidak ada melewati pengadilan, namun telah diganjar dengan berbagai sanksi,
baik dari organisasi profesi yaitu IAI,
pemerintah
melalui menteri keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Berbagai kasus
ini juga dapat digolongkan sebagai terkena risiko litigasi (Mayangsari dan
Sudibyo 2006).
PERKEMBANGAN
STANDAR-STANDAR PENGAUDITAN YANG MENGATUR PENDETEKSIAN KECURANGAN OLEH AUDITOR
EKSTERNAL
Setelah Komisi Cohen mengeluarkan rekomendasi penting
mengenai tanggung jawab auditor eksternal, di tahun 1980an dibentuk lagi komisi
khusus yang bertugas untuk memberi rekomendasi atas upaya meningkatkan proses mendeteksi
dan mengatasi pelaporan keuangan yang mengandung kecurangan. Komisi yang bernama
National Commission on Fraudulent Financial Reporting atau sering
disebut Komisi Treadway ini di tahun 1987 menghasilkan rekomendasi penting yang
terbagi tiga bagian berdasarkan pihak-pihak yang dituju, yaitu rekomendasi-rekomendasi
kepada perusahaan publik, kepada pihak akuntan publik independen dan kepada Securities
and Exchange Commission (SEC) dan pihak lainnya. Salah satu rekomendasi
penting
Komisi Treadway kepada pihak akuntan publik independen adalah perlunya
perubahan standar pengauditan yang mengakui secara lebih baik tanggung jawab
auditor untuk mendeteksi kecurangan atas laporan keuangan.
Sebagai tanggapan atas adanya expectation gap,
AICPA pada tahun 1988 telah mengeluarkan standar pengauditan yang sering
disebut the expectation gap auditing standards, yang terdiri sembilan
standar. Salah satunya yaitu SAS No. 53, The Auditor’s Responsibility
to Detect and
Report
Errors and Irregularities, - menggantikan standar sebelumnya
SAS No. 16. Standar ini menjelaskan bahwa tanggung jawab auditor eksternal
adalah untuk mendeteksi salah saji material. Hal ini dicapai dengan
mendiskusikan karakteristik klien yang disebut red flag – yang meningkatkan
risiko salah saji material dan harus meningkatkan sikap skeptisisme oleh
auditor. Namun standar ini belum tegas atau eksplisit menggunakan istilah fraud
atau kecurangan tetapi irregularities atau ketidakberesan. Menurut PSA
No. 32 yang mengadopsi SAS No.53, ketidakberesan adalah salah saji atau
hilangnya jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan yang disengaja. Lebih
lanjut ketidakberesan
mencakup
kecurangan dalam pelaporan keuangan yang menyesatkan, yang seringkali disebut kecurangan
manajemen dan penyalahgunaan aktiva, yang seringkali disebut sebagai unsur penggelapan.
Dalam perkembangannya, AICPA Expectation Gap
Roundtable tahun 1992 memunculkan pertanyaan apakah SAS No. 53 telah
secara efektif mampu mempersempit kesenjangan persepsi. Lebih
lanjut, Public Oversight Board of the AICPA
SEC
Practice menyimpulkan di tahun 1993 telah ada pendapat yang
menyebar bahwa auditor harus mengemban tanggung jawab yang lebih besar daripada
sebelumnya untuk mendeteksi management fraud. Akhirnya, Auditing
Standard Board (ASB) menyimpulkan bahwa para praktisi tidak benar-benar
memahami tanggung jawabnya
dalam
mendeteksi kecurangan, dan standar yang ada gagal untuk memberikan pedoman yang
mencukupi tentang banyaknya tugas dan dokumentasi yang diperlukan dalam
melaksanakan tanggung jawab itu (McConnell dan Banks, 1997).
Tahun 1997, ASB mengeluarkan SAS No. 82, Consideration
of Fraud in Financial Statement Audit, untuk menggantikan SAS No.
53. Sesuai dengan judulnya standar secara eksplisit menunjuk
pada
kecurangan, dan di dalamnya mendeskripsikan kecurangan dan karakteristiknya,
meminta agar dilakukan penilaian risiko kecurangan secara spesifik untuk tiap
penugasan audit, dan memberikan pedoman kapan auditor mengidentifikasi faktor
risiko kecurangan. Selain itu diberikan juga pedoman untuk pengevaluasian hasil,
persyaratan untuk dokumentasi serta komunikasi mengenai kecurangan baik
internal maupun eksternal.
Setelah terjadinya gelombang skandal akuntansi besar-besaran
seperti kasus Enron di tahun 2001, perhatian publik memicu tindakan drastic oleh
pemerintah dan kongres Amerika Serikat dengan mengeluarkan Undang-undang
Sarbanes-
Oxley
di tahun 2002. AICPA demikian pula menanggapi dengan merasa perlu untuk
mengubah kembali SAS No. 82 menjadi SAS No.99 di tahun 2002. Perubahan ini
banyak mengambil rekomendasi dari the Panel of Audit Effectiveness, suatu
panel yang dibentuk atas inisiatif Ketua SEC Arthur Levitt untuk tujuan menilai
apakah audit independen atas laporan keuangan perusahaan publik telah cukup
melayani dan melindungi kepentingan investor (Pany dan Whittington, 2001).
Masukan untuk SAS terbaru ini juga didapat dari berbagai penelitian oleh pihak akademisi.
Terbitnya SAS No. 99 merupakan upaya terobosan baru untuk mengatasi kelemahan SAS
No. 82. Walaupun standar baru ini tidak mengubah tanggung jawab pendeteksian kecurangan
oleh auditor yang berlaku sebelumnya, tetapi standar ini memperkenalkan konsep,
persyaratan dan panduan baru yang membantu auditor memenuhi tanggung jawabnya.
FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB
KEGAGALAN
PENDETEKSIAN
KECURANGAN
Pendeteksian kecurangan bukan merupakan tugas yang mudah
dilaksanakan oleh auditor eksternal (selanjutnya disebut auditor). Atas literatur
yang tersedia, dapat dipetakan empat faktor yang teridentifikasi yang
menjadikan pendeteksian kecurangan menjadi sulit dilakukan sehingga auditor
gagal dalam usaha mendeteksi. Faktor-faktor penyebab tersebut diuraikan seperti
dijelaskan di bawah ini.
Karakteristik
Terjadinya Kecurangan
Terjadinya kecurangan sebenarnya berbeda dengan kekeliruan.
Menurut Loebbecke et al. (1989), kecurangan lebih sulit untuk dideteksi karena
biasanya melibatkan penyembunyian (concealment). Penyembunyian itu
terkait dengan catatan akuntansi dan dokumen yang berhubungan,
dan
hal ini juga berhubungan dengan tanggapan pelaku kecurangan atas permintaan auditor
dalam melaksanakan audit. Jika auditor meminta bukti transaksi yang mengandung kecurangan,
dia akan menipu dengan memberi informasi palsu atau tidak lengkap.
Johnson et al. (1991) menyebutkan ada tiga taktik
yang digunakan manajer untuk mengelabui auditor. Taktik pertama adalah membuat
deskripsi yang menyesatkan (seperti mengatakan perusahaan yang sedang menurun
sebagai perusahaan yang bertumbuh) agar menyebabkan auditor menghasilkan
ekspektasi yang tidak benar sehingga gagal mengenali ketidak konsistenan. Taktik
kedua adalah menciptakan bingkai (frame) sehingga menimbulkan hipotesis
tidak adanya ketidakberesan (nonirregularities hypothesis) untuk evaluasi
ketidakkonsisten yang terdeteksi. Taktik ketiga yaitu menghindari untuk
memperlihatkan ketidakpantasan dengan membuat serentetan manipulasi kecil
(secara individual tidak material) atas akun-akun tertentu dalam laporan
keuangan sehingga membentuk rasionalisasi atas jumlah saldo yang dihasilkan. Dengan
ketiga taktik ini, manajemen klien akan berhasil bila auditor menggunakan cara
sederhana melalui representasi tunggal dalam menginterpretasikan ketidak
konsistenan yang terdeteksi. Hasil penelitian Jamal et al. (1995)
menunjukkan bahwa sebagian besar auditor (dalam penelitian ini menggunakan
partner) tidak mampu mendeteksi kecurangan dengan baik. Walaupun motivasi,
pelatihan dan pengalamannya memadai, para partner yang diuji dapat dikelabui oleh
bingkai dari manajemen klien.
Ketidakmampuan auditor dalam pendeteksian kecurangan
ini ada hubungan dengan keahliannya dibentuk oleh pengalaman yang relevan dengan
kecurangan. Kecurangan itu sendiri frekuensi terjadinya jarang dan tidak semua
auditor pernah mengalami kasus terjadinya
kecurangan,
sehingga pengalaman auditor
berkaitan
dengan kecurangan tidak banyak.
Loebbecke
et al. (1989) yang melakukan survey atas 1.050 partner audit KPMG Peat Marwick menemukan
adanya 77 kasus kecurangan yang pernah mereka alami. Jika dihitung dari jumlah audit
sepanjang karir mereka maka insiden ditemukannya kecurangan menjadi sangat
kecil (sekitar 0,32 persen). Dengan jarangnya mereka menghadapi management
fraud sehingga jarang pula yang mempunyai latar belakang yang pantas yang
mengarah pada kemampuan mendeteksi kecurangan. Dari hasil studi Johnson et al.
(1991) dan Jamal et al. (1995), tampak bahwa pengalaman saja tidaklah cukup dalam
mendeteksi kecurangan kecuali jika pengalaman itu diperoleh dari industri yang
sama atau melalui penugasan yang melibatkan kekeliruan atau kecurangan yang
material.
Selain itu, tugas pendeteksian kecurangan memerlukan
pertimbangan yang melibatkan banyak isyarat (multi-cues judgment) yang secara
inheren sulit untuk dilakukan tanpa didukung oleh alat bantu (decision aids),
bahkan oleh orang yang pakar sekalipun (Eining et al. 1997). Akar
dari
masalah ini adalah keterbatasan kemampuan kognitif manusia dalam memproses
informasi. Hackenbrack (1992) menunjukkan adanya efek dilusi dalam pertimbangan
auditor. Adanya informasi
yang
tidak relevan (disebut juga bukti non
diagnostik)
yang bercampur dengan informasi relevan (bukti diagnostik atau red flag dalam
pendeteksian kecurangan) akan mengakibatkan penilaian risiko kecurangan oleh
auditor menjadi kurang ekstrim. Penilaian risiko yang tidak sensitif ini akan
berakibat serius bagi tugas pendeteksian kecurangan.
Standar
Pengauditan Mengenai Pendeteksian
Kecurangan
Dalam pendeteksian kecurangan yang menjadi masalah
bukanlah ketiadaan standar pengauditan yang memberikan pedoman bagi upaya pendeteksian
kecurangan, tetapi kurang memadainya standar tersebut memberikan arah yang tepat.
Hal ini terlihat dari uraian perkembangan standar pengauditan di depan yang
menunjukkan usaha untuk terus-menerus memperbaiki standar yang mengatur pendeteksian
kecurangan. Perbaikan ini terutama timbul dari kenyataan bahwa tanggung jawab
pendeteksian kecurangan pada praktek belum cukup efektif dilaksanakan.
Keluarnya SAS No. 53 menjawab tantangan kesenjangan
harapan dengan secara signifikan meningkatkan tanggung jawab auditor berkaitan dengan
kecurangan. Dalam standar ini ditegaskan auditor harus menilai
risiko bahwa kekeliruan dan ketidakberesan kemungkinan menyebabkan laporan keuangan
berisi salah saji material. Berdasarkan penilaian ini, auditor harus merancang
auditnya untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi pendeteksian kekeliruan
dan kecurangan yang material atas laporan keuangan. SAS No. 53 memandang
persyaratan (requirement) terhadap kekeliruan sama dengan kecurangan.
Namun menurut Loebbecke et al. (1989) setahun setelah standar ini
terbit, kedua jenis salah saji ini sama sekali berbeda. Demikian pula
persyaratan atas dua jenis ketidakberesan yaitu defalcation dan
management
fraud juga berbeda. Loebbecke et al. percaya bahwa mendeteksi
kekeliruan yang material lebih langsung (straightforward) dan mudah dilakukan.
Sebabnya adalah pertama, kekeliruan terjadi tanpa adanya penyembunyian sehingga
dapat terungkap begitu bukti-bukti diuji. Kedua, bila kekeliruan dalam jumlah
kecil-kecil dijumlahkan menjadi jumlah yang material, sangat mungkin satu atau
lebih bagian bukti yang mengandung kekeliruan akan diuji oleh auditor. Ketiga
yaitu jika satu atau lebih kekeliruan itu secara sendiri-sendiri jumlahnya
besar maka mungkin saja detil transaksi atau akun yang berhubungan akan dipilih
untuk diuji auditor.
Walaupun SAS No. 53 ini telah memuat sejumlah faktor-faktor
yang dapat mengindikasi adanya salah saji material, namun menurut Loebbecke et
al. standar ini tidak secara spesifik memberitahukan cara faktor-faktor ini
digunakan untuk membedakan antara kekeliruan dengan ketidakberesan serta
bagaimana hasil dari
tinjauan
atas faktor-faktor tersebut diterjemahkan menjadi kecenderungan (likelihood).
Berdasarkan penelitiannya, Loebbecke et al. menyarankan agar auditor
membuat penilaian yang terpisah atas kekeliruan yang material, penggelapan (defalcation)
yang material dan kecurangan manajemen yang material. Tidak adanya pemisahan
yang jelas antara penilaian risiko terhadap salah saji yang sengaja dan tidak
sengaja pada SAS No. 53 ini, juga terbukti dalam penelitian Zimbelman (1997) tidak
mendorong auditor untuk sensitif terhadap
risiko
kecurangan.
Perubahan SAS No. 53 menjadi SAS No. 82 berusaha
mengatasi kelemahan di atas. SAS No. 82 meminta penilaian risiko kecurangan
dilakukan secara eksplisit dan terpisah. Auditor juga diminta untuk
mendokumentasikan penilaian risiko kecurangan secara terpisah. Zimbelman (1997)
dalam penelitiannya mengatakan standar ini harusnya dapat mengarahkan audit
untuk memberi banyak waktu membaca isyarat kecurangan dan merancang rencana
audit yang lebih sensitif terhadap risiko kecurangan. Seperti terbukti dari
penelitian Zimbelman ini, SAS No. 82 memang cukup berhasil mengarahkan auditor untuk
memperhatikan kecurangan. Namun SAS No. 82 ini, seperti didapat dari penelitian
Zimbelman dan kemudian Glover et al. (2003), tidak cukup untuk mendorong
auditor untuk mengubah sifat auditnya sebagai tanggapan atas perubahan risiko
kecurangan yang dipersepsikan, sehingga mereka tidak memilih prosedur audit
yang berbeda. Hasil ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas SAS No. 82
dalam membantu meningkatkan pendeteksian kecurangan. Dengan kata lain, dengan
standar ini auditor memang melakukan upaya lebih, tetapi mereka tetap mempertahankan
strategi audit yang konstan
yang
kemungkinan tidak efektif untuk mendeteksi kecurangan.
The Panel of Audit Effectiveness (PAE)
berpendapat serupa yaitu proses penilaian risiko dan tanggapannya menurut SAS
No. 82 ini tidak efektif karena hal ini tidak “mengarahkan prosedur audit
secara spesifik terhadap pendeteksian kecurangan”. PAE juga menyatakan standar pengauditan
yang ada merupakan pedoman yang tidak mencukupi dalam mengimplementasikan konsep
skeptisisme profesional (Pany dan
Whittington
2001).
Perubahan SAS No. 82 menjadi SAS No. 99 banyak menyerap
rekomendasi yang diberikan PAE, sehingga merupakan upaya perbaikan yang signifikan
dalam standar pengauditan. SAS No. 99 ini dirancang untuk memperluas prosedur
audit yang berkenaan dengan kecurangan material pada
laporan
keuangan. Standar baru ini mempertimbangkan kecurangan secara menyatu dalam proses
audit dan secara terus-menerus dimutakhirkan sampai selesainya audit. Dalam
standar ini diuraikan proses dimana auditor (1) menyajikan informasi yang
diperlukan untuk mengidentifikasi risiko salah saji material yang disebabkan
oleh kecurangan, (2) menilai risiko-risiko tersebut setelah mengevaluasi
program dan pengendalian oleh entitas dan (3) menanggapi hasil dari penilaian
tersebut. Auditor menyajikan dan
mempertimbangkan lebih banyak informasi
dalam
menilai risiko kecurangan daripada yang pernah dialami di masa-masa sebelumnya.
Selain itu juga auditor diminta mendokumentasikan penilaian mereka secara
eksplisit dalam kertas kerja.
SAS No. 99 ini mengingatkan auditor untuk mengatasi
kecenderungan alami mereka seperti terlalu percaya pada representasi klien dan
bias dan pendekatan audit mereka dengan sikap skeptis dan pikiran yang
mempertanyakan. Hal yang penting juga adalah auditor harus mengesampingkan hubungan
masa lalu dan tidak menganggap klien jujur.
Persyaratan yang baru dalam SAS No. 99 ini adalah
meminta tim audit agar berdiskusi selama tahap perencanaan mengenai potensi
salah saji material karena kecurangan. Diskusi ini dilakukan dengan cara brainstorming
yang diharapkan mencapai dua tujuan. Pertama, bersifat strategic yaitu agar
tim penugasan mendapat pemahaman yang lebih baik atas informasi yang dipunyai
dari anggota tim yang berpengalaman tentang pengalaman mereka dengan klien dan
bagaimana kecurangan mungkin terjadi dan disembunyikan. Tujuan kedua adalah
menetapkan “tone at the top”
yang
sepantasnya dalam melaksanakan penugasan audit. Cara ini adalah usaha untuk memodelkan
derajat skeptisisme profesional yang tepat dan menetapkan budaya atas
penugasan. Budaya ini dipercaya akan merasuk dalam ke seluruh penugasan
sehingga membuat semua prosedur audit lebih efektif (Ramos 2003).
Auditor menurut standar baru ini perlu memperluas
lingkup informasi yang mereka gunakan untuk menilai risiko salah saji material karena
kecurangan, diluar faktor-faktor risiko kecurangan yang terdapat pada SAS No.
82. Faktor-faktor risiko kecurangan itu adalah “kejadian-kejadian atau kondisi yang
mengindikasikan insentif/tekanan untuk mendorong kecurangan, kesempatan untuk
melaksanakan kecurangan, atau sikap/rasionalisasi untuk membenarkan atau menjustifikasikan
tindakantindakan kecurangan” (para. 31). Walaupun faktor-faktor risiko
kecurangan tidak harus mengindikasikan kecurangan ada, tetapi faktor-faktor itu
sering ada bila bila kecurangan terjadi, sehingga menjadi elemen penting yang
dipertimbangkan dalam ruang lingkup perikatan audit.
Selanjutkan auditor diminta untuk mempertimbangkan program
dan pengendalian oleh manajemen berkenaan dengan risiko dan menentukan apakah
program dan pengendalian itu memperbaiki atau memperburuk risiko yang teridentifikasi.
Auditor juga dipersyaratkan agar membangun tanggapan yang tepat atas tiap
risiko yang teridentifikasi. Prosedur yang direncanakan harus mempertimbangkan
risiko manajemen mengesampingkan pengendalian. Prosedur itu juga mencakup
pengujian ayat jurnal dan
penyesuaian
lain, mereviu estimasi akuntansi atas bias yang terjadi dan mengevaluasi
penjelasan bisnis atas transaksi material yang tidak biasa.
Banyak hal-hal baru dalam standar ini dan membawa harapan
bagi perbaikan. Carpenter (2007) dalam upaya menguji efektivitas dari salah satu
aspek dari SAS No. 99 yaitu penggunaan sesi brainstorming mendapatkan
bahwa brainstorming amat berguna dalam melakukan pertimbangan mengenai
kemungkinan kecurangan. Hasil dari eksperimen yang dilakukan Carpenter
menyarankan meskipun jumlah dari ide-ide yang dihasilkan berkurang, tim audit
yang mengadakan brainstorming menghasilkan ide-ide kecurangan yang berkualitas
lebih banyak daripada auditor secara individual menghasilkan ide-ide tersebut
sebelum sesi brainstorming. Tim audit menghasilkan ide-ide kecurangan
berkualitas baru selama sesi
brainstorming.
Hasil-hasil ini juga menunjukkan penilaian risiko kecurangan yang dihasilkan setelah
sesi brainstorming secara signifikan lebih tinggi dari penilaian yang
dilakukan auditor secara individual sebelum sesi brainstorming, khususnya
bila kecurangan itu memang ada. Hasil ini menunjukkan sesi brainstorming cenderung
meningkatkan
kemampuan auditor mengidentifikasi kecurangan. Harapan perbaikan dengan berlakunya
SAS No. 99 ini amat diharapkan seiring dengan diterapkannya cara-cara baru oleh
para auditor dalam penugasan.
LINGKUNGAN
PEKERJAAN AUDIT YANG
MENGURANGI
KUALITAS AUDIT
Lingkungan pekerjaan audit merupakan hal penting yang
mempengaruhi kualitas audit termasuk juga dalam kualitas pendeteksian kecurangan.
Komisi Treadway dalam rekomendasinya menuliskan “Komisi mendorong agar sensitivitas
yang lebih besar pada bagian kantor akuntan publik terhadap tekanan-tekanan
dalam KAP yang kemungkinan berdampak buruk bagi kualitas audit” (National
Commission on Fraudulent Financial Reporting, 1987). Tekanan-tekanan
yang muncul dari lingkungan pekerjaan ini harus dengan tepat dikelola agar
tidak berakibat buruk bagi kualitas audit. Tekanan-tekanan lingkungan
pekerjaaan itu dapat dibagi menjadi atas beberapa hal yang diterangkan di bawah
yaitu tekanan kompetisi atas fee, tekanan waktu dan relasi hubungan auditor-auditee.
Tekanan
Kompetisi atas Fee Audit
Kompetisi yang semakin tajam di antara kantor akuntan
publik untuk memperebut klien memang tidak terhindarkan lagi dalam bisnis jasa akuntansi.
Namun hal ini mempunyai implikasi yang perlu menjadi perhatian oleh pihak profesi
akuntan publik yaitu kompetisi yang semakin tajam akan mengakibatkan penekanan
untuk penurunan fee audit. Tekanan ini akan mengakibatkan KAP mengurangi
pekerjaan audit untuk mempertahankan marjin labanya (AICPA
1978)
dan mengarah pada perubahan baik atas kejadian kecurangan maupun pendeteksian
kecurangan. Untuk menjaga agar marjin laba tetap menguntungkan, maka biaya
harus ditekan dan efisiensi diutamakan. Di pihak lain pendeteksian kecurangan
yang ekstensif memakan biaya besar dan tidak efisien. Melaksanakan pendeteksian
kecurangan mungkin efektif untuk kasus audit yang mengandung kecurangan, namun
tidak akan efisien pada kasus pengauditan pada klien yang tidak terjadi
kecurangan. Banyak manajemen KAP keberatan atas pelaksanaan pendeteksian kecurangan
yang terlalu ekstensif dilatarbelakangi oleh hal ini.
Tekanan kompetisi jelas membawa konsekuensi bagi
kualitas pekerjaan auditor eksternal. Studi eksperimen ekonomi oleh Matsumura
dan Tucker (1992) menunjukkan beberapa hal tentang masalah ini. Dalam penelitian
ini mereka memanipulasi penalti atas auditor, persyaratan pengauditan, struktur
pengendalian internal, dan fee audit untuk menguji efek dari dari
variable-variabel ini terhadap pendeteksian kecurangan dan kejadian atau
insiden kecurangan. Mereka menemukan kenaikan pada penalti atas auditor menghasilkan
penurunan terjadinya kecurangan dan meningkatkan usaha pendeteksian kecurangan.
Demikian pula kenaikan dalam jumlah minimum pengujian atas kecurangan
meningkatkan pendeteksian kecurangan dan menurunkan terjadinya kecurangan,
serta pengendalian internal yang lebih kuat mengarah pada pendeteksian kecurangan
yang lebih sering dan menurunkan terjadinya kecurangan. Temuan eksperimen
ekonomi, menunjukkan hal penting yaitu peningkatan fee audit menghasilkan penurunan
pada kecurangan dan peningkatan jumlah pengujian transaksi dengan pengujian
yang lebih sedikit secara keseluruhan. Dengan hasil ini, adanya penurunan fee akan
berakibat kenaikan insiden kecurangan dan penurunan upaya pendeteksian kecurangan,
dan berarti turunnya kualitas audit.
Tekanan
Waktu
Tekanan waktu (time pressure) adalah ciri lingkungan
yang biasa dihadapi auditor. Adanya tenggat waktu penyelesaian audit membuat auditor
mempunyai masa sibuk yang menuntut agar dapat bekerja cepat. Para peneliti dan praktisi
banyak berpendapat bahwa tekanan ini dapat memperburuk kualitas pekerjaan
audit. Berkaitan dengan ini, penelitian oleh Braun
(2000)
mengilustrasikan salah satu efek dari
tekanan
waktu atas kinerja auditor dalam pendeteksian kecurangan. Braun menunjuk bahwa pengauditan
dilaksanakan dalam suatu lingkungan multi tugas dimana di bawah tekanan waktu,
beberapa tugas akan lebih diprioritaskan dibandingkan tugas lainnya. Braun
menguji hipotesisnya yaitu bila tekanan waktu ditingkatkan dalam lingkungan
multi tugas, kinerja tugas yang lebih rendah/subsidiary (yaitu
sensitivitas
terhadap
isyarat kecurangan) akan menurun
sedangkan
kinerja tugas yang dominan (mendokumentasi bukti) akan tetap tidak berubah.
Hasil penelitian menunjukkan auditor yang berada di bawah tekanan waktu yang
lebih akan kurang sensitif terhadap isyarat kecurangan sehingga kurang mungkin
untuk dapat mendeteksi kecurangan. Walaupun begitu, tekanan waktu tidak mempengaruhi
kinerja auditor yang berkaitan dengan pengumpulan bukti atas frekuensi dan
jumlah salah saji. Hasil ini konsisten dengan penelitian-penelitian dalam
bidang psikologi yang memprediksi bahwa terdapat pengurangan dalam perhatian
bila seseorang diperhadapkan dengan tekanan waktu, dan menunjukkan bahwa
tekanan waktu akan menyebabkan auditor gagal untuk menghadirkan sinyal-sinyal
kecurangan dalam bukti audit.
Hubungan
Auditor-Auditee
Beberapa pihak berpendapat bahwa komunikasi memainkan
peranan penting dalam mendeteksi kecurangan. Beberapa riset (contohnya Hooks et
al. 1994) melaporkan adanya peran komunikasi dalam pendeteksian kecurangan, yaitu
(1) komunikasi dengan personel klien penting dalam mendeteksi kecurangan (2) kemungkinan
menerima komunikasi sensitif dari personel klien sangat tergantung dari kuatnya
hubungan antara auditor dengan orang yang mengetahui adanya tindakan perbuatan
salah itu, dan (3) kemauan mengkomunikasi itu dipengaruhi oleh pemahaman orang
yang mengetahui tindakan salah atas siapa yang memperoleh keuntungan dari tindakan
salah itu–apakah pelakunya atau organisasi atau keduanya. Hal yang terakhir ini
relevan dalam upaya melaporkan kecurangan manajemen, karena kecurangan sering
melibatkan (paling tidak) keuntungan jangka pendek bagi pelakunya, perusahaan
dan orang yang mengetahuinya. Hasil temuan Schultz dan Hooks (1998) mendukung
hal (2) di atas dan mereka menyimpulkan semakin kuat hubungan antara karyawan
klien yang mengamati tindakan kecurangan dengan auditor, maka lebih cenderung pengamat
melaporkan tindakan salah (wrongdoing).
Walaupun kedekatan hubungan antara auditor dengan auditee
mempunyai implikasi atas independensi dan obyektivitas auditor, namun Schultz
dan Hooks berargumen kedekatan ini memperkuat kepercayaan dan komunikasi
sehingga komunikasi sensitif akan diperlakukan bijaksana dan tindakan tepat
dapat dilakukan dengan cara diplomatis namun efektif. Meningkatnya komunikasi
ini juga akan menambah kredibilitas terhadap laporan keuangan. Komunikasi ini
juga tampaknya lebih efektif dalam menemukan kecurangan dibandingkan
menggunakan metode dokumenter.
Namun dalam praktek di lapangan, banyak hal yang
menghambat komunikasi yang baik ini. Schultz dan Hooks menjelaskan salah satu sebabnya
adalah tekanan kompetisi yang menekankan efisiensi dan mengarahkan perhatian pada
usaha mengejar pendapatan. Auditor lebih dituntut untuk mencapai efisiensi
audit yang maksimum, dan meluangkan waktu untuk membangun hubungan dengan klien
tidak dianggap sebagai aktivitas yang sesuai. Selain itu banyaknya perputaran
para partner yang pindah dan masuk tidak memungkinkan menjalin hubungan baik
dengan manajemen puncak klien. Klien juga
banyak
yang berpindah auditor, dan seringkali menjalin hubungan untuk pertama kali ini
juga menimbulkan masalah serius.
METODE
DAN PROSEDUR AUDIT YANG
TIDAK
EFEKTIF DALAM PENDETEKSIAN
KECURANGAN
Komisi Cohen di tahun 1978 telah menyebutkan bahwa
metode dan prosedur audit yang tradisional tidaklah selalu dapat memberikan keyakinan
yang seharusnya diberikan dalam upaya pendeteksian kecurangan (AICPA 1978). Komisi
ini menyarankan agar auditor menaruh perhatian atas efektivitas teknik
pengauditan konvensional dan perlunya pengembangan teknik yang baru. Sampai
sekarang memang permasalahan satu ini masih terus diusahakan baik oleh para praktisi
maupun akademisi. Standar pengauditan tentang pendeteksian kecurangan seperti diuraikan
di depan memang tidak banyak membantu dalam mendorong penggunaan teknik pengauditan
baru ini. Salah satu penjelasan atas adanya temuan penelitian Zimbelman (1997),
tentang tidak berubahnya sifat dari rencana audit walaupun SAS No. 82 telah
membuat auditor sadar akan risiko kecurangan, adalah auditor benar-benar tidak
mengetahui bagaimana mengubah program audit mereka agar dapat secara efektif
mendeteksi kecurangan (Hoffman 1997).
Zimbelman
sendiri berdasarkan kesimpulan ini mendukung perlu adanya pendekatan audit baru
yang tidak statis dengan adanya risiko kecurangan.
Beberapa peneliti telah memberi masukan penting
tentang hal ini. Johnson et al. (1991) yang mengambil subyek para partner audit
menemukan bahwa partner yang mampu melihat isyarat (cues) melalui suatu “fault”
model dapat mengatasi framing effect dan mampu mendeteksi
kecurangan, dibanding partner yang menggunakan “functional” model. Fault
model yaitu model yang memberi perhatian pada hal-hal yang mengandung kesalahan.
Fault model ini diperoleh melalui pengalaman di bidang industri tertentu
atau melalui pengalaman atas penugasan yang pernah terjadi kekeliruan atau
kecurangan yang material. Model ini memungkinkan auditor memfokuskan diri pada
di mana manipulasi terjadi, sehingga skeptisisme yang sepantasnya dapat
diterapkan. Sedangkan model fungsional memberikan ekspektasi berdasarkan
hubungan antara akun-akun seperti penjualan dan marjin laba. Model fungsional ini
adalah model yang terdapat pada metode dan prosedur audit tradisional yang
biasa dikenal.
Studi yang lain, memberikan pembedaan yang senada
yaitu oleh Erickson et al. (2000) yang mencatat perbedaan antara bukti
yang berdasar transaksi (transaction-based evidence) dan bukti yang
berdasar pemahaman bisnis (business understanding based evidence). Dalam
studi mereka yang dilakukan berdasarkan audit atas Lincoln Savings
and Loan, mereka mengilustrasikan
bahwa
auditor perlu memperoleh suatu pemahaman eksternal atas bisnis klien secara ekonomi
dan mengintegrasikan pemahaman ini dengan bukti-bukti internal. Studi ini
memberikan bukti dalam kasus Lincoln Savings and Loan, transaksi yang mengandung
kecurangan dipandang telah dicatat secara benar oleh auditor karena mereka
hanya berfokus pada bentuk akuntansi transaksi-transaksi dan tidak melihat substansi
ekonomi dari perjanjian-perjanjian bisnis yang terjadi. Peneliti berargumen
jika substansi ekonomi dari transaksi itu benar-benar dipertimbangkan maka
auditor dapat waspada terhadap kemungkinan adanya pelaporan yang mengandung
kecurangan. Menurut Erickson et al., pemahaman tentang bisnis klien hanya
sepintas saja disinggung dalam standar pengauditan yang ada, dan evaluasi atas
substansi transaksi yang didasarkan atas pengetahuan mengenai bisnis klien sama
sekali tidak dibicarakan. Demikian pula, SAS No. 82 kurang memberikan panduan dalam
memahami bisnis klien baik berdasarkan data internal maupun eksternal. SAS No.
82 juga tidak memuat apapun atas integrasi analisis data-data tersebut dengan
prosedur terinci yang dilaksanakan.
Erickson et al. merekomendasikan pendekatan baru
terhadap praktek pengauditan yang secara eksplisit menanggapi atas beberapa hal
yang dikemukakan mereka. Pendekatan yang melaksanakan audit dengan suatu sudut
pandang strategis ini mempertimbangkan strategi bisnis klien dan keterhubungannya
dengan industri dan ekonomi keseluruhan. Pendekatan yang disebut strategic-risk
approach atau business risk audit model (Knechel 2000 dan
Eilifsen et al. 2001) ini
mempercayai
evaluasi praktik akuntansi didasarkan atas pemahaman bisnis daripada sekedar evaluasi
bisnis yang hanya berdasarkan atas prosedur akuntansi.
ANALISIS
ATAS UPAYA PERBAIKAN
DALAM
PENDETEKSIAN KECURANGAN
Identifikasi atas faktor-faktor penyebab yang diuraikan
sebelumnya menjadi dasar untuk kita memahami kesulitan dan hambatan auditor menjalankan
tugasnya dalam mendeteksi kecurangan. Meski demikian faktor-faktor itu tidaklah
menjadi alasan untuk menghindarkan upaya pendeteksian kecurangan yang lebih
baik. Berikut analisis atas masing-masing faktor tersebut.
Faktor pertama yaitu karakteristik terjadinya kecurangan
dan kemampuan auditor menghadapinya merupakan faktor tersulit diatasi. Seperti
telah dikemukakan, pelatihan dan pengalaman audit saja tidak cukup bagi auditor
untuk dapat membongkar pengelabuan atau penyembunyian yang disengaja melalui
praktik kecurangan. Auditor berpengalaman terbaik adalah auditor yang sering
menghadapi dan menemukan kecurangan, dan ini sedikit sekali ditemukan. Oleh karena
upaya untuk memperbaiki kemampuan auditor tidak bisa bertumpu pada pelatihan
dan pengalaman audit yang biasa. Perlu ada alat bantu (decision aids)
yang memadai untuk membantu auditor memperbaiki kemampuan deteksinya.
Faktor kedua yaitu kurangnya standar pengauditan yang
memberikan arahan yang tepat merupakan faktor yang relatif mampu ditanggulangi.
Sudah ada upaya perbaikan dengan keluarnya standar pengauditan baru di Amerika Serikat
yaitu SAS No. 99. Seperti dikemukakan di depan, terbitnya dan diterapkannya
standar baru ini membawa harapan baru bagi perbaikan upaya dan peningkatan keahlian
auditor. Berbagai cara dalam standar ini menggariskan perlu upaya peningkatan skeptisisme
profesional sehingga meningkatkan kewaspadaan auditor atas kemungkinan kecurangan.
Faktor ketiga yang berkaitan dengan lingkungan pekerjaan
audit yang mengurangi kualitas
audit
merupakan faktor yang relatif dapat terkendalikan dan mampu diperbaiki.
Lingkungan pekerjaan auditor harus diciptakan untuk mampu menghasilkan kualitas
audit yang tinggi. Tiga aspek utama dalam lingkungan pekerjaan audit yaitu
tekanan kompetisi atas fee audit, tekanan waktu dan hubungan auditor-auditee,
dapat diatasi sepenuhnya oleh manajemen kantor akuntan publik (KAP). Ketiga
aspek ini pada intinya berujung pada penekanan biaya atau efisiensi. Terdapat trade-off
di sini di mana penekanan efisiensi yang berlebihan akan mengorbankan efektivitas
audit. Meskipun demikian, bila hanya bertumpu pada kesadaran internal
manajemen, upaya perbaikan belumlah cukup. Perlu adanya insentif dan
disinsentif secara institusional yang mendorong manajemen mempertimbangkan trade-off
dan memperbaiki kualitas audit. Sebagai contoh pemberian sanksi atau
penalti bagi kegagalan audit merupakan suatu cara untuk mendorong auditor
memperhatikan kualitas
auditnya.
Selain mekanisme pengawasan baik dari organisasi profesi maupun pemerintah melalui
otoritas pasar modal menjaga agar kegagalan dapat dicegah dan ditemukan. Mekanisme
tata kelola organisasi (corporate governance) oleh auditee yang
dijalankan dengan efektif melalui komite audit juga akan mampu memantau dan
memperhatikan proses pengauditan yang sesuai harapan.
Terakhir faktor keempat yaitu metode dan prosedur
audit dalam pendeteksian kecurangan merupakan faktor yang relatif dapat dan
telah diperbaiki. Diterapkan pendekatan yang lebih bersifat holistik melalui
metode yang berbasis risiko bisnis dan strategik dapat menjadi acuan sebagai
metode yang baik. Meski banyak perdebatan tentang motivasi dan kemanfaatan metode
baru ini, namun upayanya yang berusaha mengatasi kelemahan metode audit
tradisional perlu diberikan dukungan. Beberapa KAP telah mengimplementasikan
metode atau pendekatan baru ini, dan riset-riset terus berjalan untuk membuktikan
manfaatnya.
KESIMPULAN
Dari uraian permasalahan-permasalahan dalam
pendeteksian kecurangan yang dikemukakan di depan, maka dapat ditarik simpulan sebagai
berikut: 1) Pertimbangan atas kecurangan dalam pelaporan keuangan yang semakin
meningkat belakangan ini timbul dari adanya upaya mempersempit kesenjangan
harapan antara pengguna dengan pihak penyedia jasa pengauditan. Disamping untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat atas profesi akuntan public dan mengurangi biaya-biaya
litigasi, 2) pendeteksian kecurangan dalam audit laporan keuangan oleh auditor
perlu dilandasi dengan pemahaman atas sifat, frekuensi dan kemampuan
pendeteksian oleh auditor. Sifat terjadinya kecurangan yang melibatkan
penyembunyian dan frekuensinya jarang dihadapi auditor, seharusnya tidak
membuat auditor berpuas diri dengan pengauditan yang ada sekarang.
Permasalahan bahwa terdapat keterbatasan auditor dalam pelaksanaan pendeteksian
kecurangan merupakan tantangan yang perlu dihadapi pihak profesi dan
akademisi, 3) sejauh ini standar pengauditan mengenai pendeteksian
kecurangan telah terus-menerus diupayakan untuk memperbaiki praktek
pengauditan yang berjalan. Patokan yang selalu diacu adalah
efektivitas dari standar ini dalam mengarahkan keberhasilan pendeteksian
kecurangan. Beberapa standar terdahulu kurang memberikan pedoman dalam
memberikan arah pendeteksian kecurangan. Standar terbaru diharapkan membawa harapan
baru dengan mengatasi kelemahan-kelemahan sebelumnya. Perlu lebih banyak riset-riset
empiris yang mendukung validitas atas efektivitas standar baru ini, seperti
disarankan Bedard et al. (2001) dan diperlihatkan oleh riset Carpenter (2007).
Khusus untuk di Indonesia, mengingat kegunaannya, ada baiknya Ikatan Akuntan
Indonesia segera mengadopsi SAS No. 99
untuk
menggantikan PSA No. 70 agar praktik pendeteksian kecurangan yang terbaru dapat
diarahkan penerapannya, 4) permasalahan yang terdapat pada lingkungan pekerjaan
audit bila tidak ditangani dengan baik akan berakibat buruk
pada
kualitas audit. Adanya tekanan kompetisi, tekanan waktu dan tekanan hubungan
dengan klien demikian juga dapat berdampak pada keberhasilan pendeteksian
kecurangan. Pihak KAP perlu terus-menerus menyadari masalah ini dan
konsekuensinya serta menjaga agar tekanantekanan dalam lingkungan ini tidak
bertambah buruk.
Hal yang masih banyak dikerjakan ke masa depan
adalah mencari dan memperbaiki metode dan prosedur yang paling tepat dalam
melakukan pendeteksian kecurangan. Metode dan prosedur tradisional tidaklah memadai
dalam usaha pendeteksian kecurangan, sehingga riset-riset mendatang perlu
menjawab tantangan ini.
DAFTAR
PUSTAKA
American
Institute of Certified Public
Accountants (AICPA).
1978. The Commission on Auditors Responsibilities: Report, Conclusions,
and Recommendations.
New York: AICPA.
______.
1988. Statement on Auditing
Standards (SAS) No. 53:
The Auditors Responsibilities to Detect and Report Errors and Irregularities.
New York: AICPA.
______.
1997. Statement on Auditing
Standards (SAS) No. 82:
Consideration of Fraud in Financial Statement Audit.
New York: AICPA
______.
2002. Statement on Auditing
Standards (SAS) No. 99:
Consideration of Fraud in Financial Statement Audit.
New York: AICPA.
Association
of Certified Fraud Examiners
Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
2002. Siaran Pers Badan
Pengawas Pasar Modal, 27 Desember.
Bedard,
J, R. Simnett dan J.A. DeVoe
Talluto. ”Auditors’
Consideration of Fraud: How Behavioral Research Can Address the Concerns of
Standard Setters”. Advances in Accounting Behavioral Research, Vol. 4:
77-101.
Braun,
R.L. 2000. “The Effect of Time
Pressure on Auditor
Attention to Qualitative Aspects of Misstatement Indicative of Potential
Fraudulent Financial Reporting ”Accounting, Organizations and Society,
25 (3): 243-259.
Carcello,
J.V. dan Z. Palmrose.1994.
“Auditor Litigation and Modified Reporting on Bankrupt
Clients”. Journal of Accounting Research, (Supplement): 1-29.
Carpenter,
T.D. 2007. “Audit Team
Brainstorming, Fraud
Risk Identification, and Fraud Risk Assessment: Implications of SAS No. 99”.The
Accounting Review, 82 (5): 1119-1140.
Eilifsen,
A., W.R. Knechel dan P. Wallage.
2001. “Application of
the Business Risk Audit Model: A Field Study”. Accounting Horizons, 15
(September): 193-207
Eining,
M.M., D.R. Jones dan J.K.
Loebbecke. 1997.
“Reliance on Decision Aids: An Examination of Auditors’ Assessment of
Management Fraud”. Auditing : A Journal of
Practice & Theory 16
(Fall): 1-19.
Erickson,
M., B.W. Mayhew dan W.L.
Felix. 2000. “Why Do
Audits Fail? Evidence from Lincoln Savings and Loan”. Journal of Accounting
Research, 38 (Spring): 165-194.
Epstein,
M. dan M. Geiger.1994. “Investors
View of Audit
Assurance: Recent Evidence of the Expectation Gap”. Journal of Accountancy,
January: 60-66.
Glover,
S.M., D.F. Prawitt, J.J. Schultz dan
M.F. Zimbelman. 2003.
“A Test of Changes in Auditors’ Fraud-Related Planning Judgment since the
Issuance of SAS No. 82.” Auditing : A Journal of Practice &
Theory, 22 (September): 237-251.
Guy,
D. dan J. Sullivan. 1988. “The
Expectation Gap
Auditing Standards”. Journal of Accountancy, April: 36-46.
Hackenbrack,
K. 1992. “Implications of
Seemingly Irrelevant Evidence
in Audit Judgment”. Journal of Accounting Research, (Spring): 54-76.
Hoffman,
V.B. 1997. “Discussion of the
Effects of
SAS No. 82 on Auditors’
Attention to Fraud Risk Factors and Audit Planning Decisions”. Journal of
Accounting Research, (Supplement): 99-104.
Hooks,
K.L. 1994. “Enhancing
Communication to Assist
in Fraud Prevention and Detection”. Auditing : A Journal of Practice &
Theory, 13 (Fall): 86-117.
Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI). 1993.
Pernyataan Standar
Auditing (PSA) No. 32: Tanggung Jawab Auditor untuk Mendeteksi dan Melaporkan
Kekeliruan dan Ketidakberesan. Jakarta: IAI.
____________.
2001. Pernyataan Standar
Auditing (PSA) No. 70:
Pertimbangan atas Kecurangan dalam Audit Laporan Keuangan.
Jakarta: IAI.
Jamal,
K; P.E Johnson dan R.G. Berryman.
1995. “Detecting
Framing Effect in Financial Statements”. Contemporary Accounting Research,
12: 85-105.
Johnson,
P.E., K. Jamal, dan R.G.
Berryman. 1991. “Effects
of Framing on Auditor Decisions”. Organizations Behavior and Human Decision
Process, 50: 75-105.
Knechel,
W.R. 2000. “Behavioral Research
In Auditing and Its Impact on Audit
Education”. Issues
in Accounting Education, 15 (4): 695-712.
Loebbecke,
J.K., M.M. Eining dan J.J.
Willingham. 1989.
“Auditors’ Experience with Irregularities: Frequency, Nature and
Detectability”. Auditing : A Journal of Practice & Theory, 9
(Fall): 1-28.
Matsumura,
E.M. dan R.R. Tucker. 1992.
“Fraud Detection: A
Theoretical Foundation”. Accounting Review, 67: 753-782.
Mayangsari,
S dan B. Sudibyo. 2006. “An
Empirical Analysis of
Auditor Litigation”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 9 (1):
65-86.
McConnell,
D.K. dan G.Y. Banks. 1997.” Implementing
New Fraud Auditing
Standard in Your Auditing Practice”. Ohio CPA Journal, July-September: 26-30.
National
Commission on Fraudulent
Financial Reporting.
1987. Report of National Commission on Fraudulent Financial Reporting
(Treadway Report). Washington D.C.: U.S. Governmant Printing Office.
Nieschwietz,
R.J., J.J. Schultz dan M.F.
Zimbelman. 2000.
“Empirical Research on External Auditors’ Detection of Financial Statement Fraud”.
Journal of Accounting Literature, 19: 190-246.
Palmrose,
Z. 1987. “Litigations and
Independent Auditors:
the Role of Business Failure and Management Fraud”. Auditing : A Journal
of Practice & Theory 6 (Spring): 90-103.
________.
1991. An Analysis of Auditor
Litigation Disclosures.
Auditing : A Journal of Practice & Theory, (Supplement): 54-71.
Pany,
K.J. dan O.R. Whittington. 2001.
“Research Implications
of the Auditing Standard Board’s Current Agenda”. Accounting Horizons,
15 (4): 401-411.
Ramos,
M. 2003. Auditor’s Responsibility
for Fraud Detection. Journal
of Accountancy, 195 (1): 28-36.
Schultz,
J.J dan K.L. Hooks. 1998. The
Effect of Relationship
and Reward on Reports of Wrongdoing. Auditing: A Journal of Practice &
Theory, 17 (Fall): 15-35.
Zimbelman,
M.F. 1997. The Effects of SAS
No. 82 on Auditors’
Attention to Fraud Risk Factors and Audit Planning Decisions. Journal of
Accounting Research, (Supplement): 75-97.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar